Friday 17 September 2010

Say No to Puyer

Kebetulan sedang ngecek2 draft postingan, ternyata punya informasi mengenai puyer, udah lama memang sumbernya dari sebuah seminar yang diadakan lebih dari 2 tahun yang lalu, moga2  masih cukup relevan sebagai sebuah informasi.. So, here it is dipublish deh..

Sebagai seorang ibu yang sayang keluarga, perdebatan mengenai pemberian puyer cukup menarik perhatian. So, dimulailah aktifitas googling n didapat hasil sebuah seminar mengenai puyer. Berikut kutipannya:


SEMINAR DAN DISKUSI PAKAR
PUYER, QUO VADIS?
Sabtu, 3 Mei 2008

Pembicara:
1. Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudi, Sp.FK (Departemen Farmakologi FKUI)
2. Dra. Ida Z. Hafiz, Apt. Msi (Departemen Farmasi FKUI)
3. Dr. Moh Shahjahan (WHO)
4. dr, Purnamawati S. Pujiarto, Sp.A(K), MMPed (Yayasan Orang Tua Peduli)

Panelis Diskusi:
YLKI
IDI Jakarta
Majelis Kode Etik Kedokteran
Dirjen Pelayanan kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes

Ringkasan Materi:

Resiko pemberian puyer :
  1. Menurunnya kestabilan obat, karena obat-obatan yang dicampur tersebut kemungkinan berinteraksi satu sama lain.
  2. Bisa jadi obatnya sudah rusak sebelum mencapai sasaran karena proses penggerusan. Ada obat yang sedemikian rupa dibuat, karena obat tersebut akan hancur oleh asam lambung. Karena misalnya, obat itu ditujukan untuk infeksi saluran pernapasan atas, maka obat tersebut harus dibuat sehingga terlindung dari asam lambung. Kalau digerus jadi puyer obat itu akan segera hancur kena asam lambung. Lebih buruk, obat itu bisa jadi malah akan melukai lambung.
  3. Dosis yang berlebihan - dokter tidak mungkin hapal setiap merek obat. Jadi akan ada kemungkinan dokter meresepkan 2 merek obat yang berbeda, namun kandungan aktifnya sama.
  4. Sulitnya mendeteksi obat mana yang menimbulkan efek samping - karena berbagai obat digerus jadi satu (Prof Rianto menyebutkan, ada dokter yang meresepkan sampai 57 obat dalam 1 puyer!), dan jika terjadi reaksi efek samping terhadap pasien, akan sulit untuk melacak obat mana yang menimbulkan reaksi, lha wong obatnya dicampur semua...
  5. Kesalahan dalam peracikan obat - bisa jadi tulisan dokter tidak terbaca oleh apoteker, sehingga membuat salah peracikan (Prof. Rianto mencontohkan pasien asma diberi obat diabetes karena apoteker salah baca tulisan dokter. Alhasil pasien seketika pingsan, dan saat sadar, fungsi otaknya sudah tidak bisa kembali seperti semula).
  6. Pembuatan puyer dengan cara digerus atau diblender, sehingga akan ada sisa obat yg menempel di alatnya. Berarti, puyer yang diberikan kepasien, dosisnya sudah berubah - jadi.. kalau yang diresepkan itu AB, tetap akan ada kemungkinan resistensi karena dosisnya sudah di bawah dari yang diresepin dokter.
  7. Proses pembuatan obat itu harus steril, istilahnya harus dibuat dalam ruangan yang jumlah kumannya sudah disterilkan - proses pembuatan puyer di apotek belum tentu memenuhi standar itu, ruangannya bebas kumankah?, apotekernya pakai sarung tangan kah? Sisa obat lain yang sebelumnya digerus, sudah dibersihkan dengan benarkah? Kalau itu semua jawabannya tidak (atau salah satu jawabannya tidak), berarti obat yang digerus sudah tercemar.
  8. Yang paling mengerikan : ada obat yang sengaja dibuat slow release, artinya dalam 1 tablet yang diminum akan larut sedikit demi sedikit didalam tubuh. Kalau sudah digerus menjadi puyer, obat itu akan seketik larut. Berarti akan ada efek dumping, mampukah tubuh kita menahan efek itu? Sementara, yang biasa dikasih puyer bayi dan anak-anak...mampukah tubuh kecil mereka menahan efek ini..?
Dr. Moh Shahjahan dari WHO menceritakan bahwa untuk Asian Region, cuma Indonesia yang masih menggunakan puyer. Bahkan Bangladesh yang miskin, sudah lama meninggalkan puyer, karena dinilai terlalu banyak resikonya ketimbang benefitnya.

Dari seminar tersebut, para dokter sendiri masih pro dan kontra mengenai puyer. Kebanyakan yang pro puyer, hanya menyoroti soal murah dan mudah (dengan pertimbangan pasien kecil susah minum obat), tapi kalau sudah membahayakan jiwa masihkah bisa berlindung di balik alasan-alasan tersebut? Yang dapat dilakukan hanyalah menjadi konsumen yang bijak karena bukan dokter yang akan menanggung efek sampingnya.

dr. Purnamawati menyarankan:
  • tanya diagnosa dalam bahasa medis setiap kali kita berkunjung kedokter (contoh: radang tenggorokan itu bukan diagnosa, tapi gejala), agar kita bisa browsing di internet atau mencari informasi lebih lanjut mengenai penyakit tersebut
  • tiap kali diberi obat (atau resep) tanyakan nama obatnya, kegunaan obat tersebut, dan efek sampingnya. Usahakan, sebelum ditebus, browsing dulu di internet/cari informasi, agar kita benar-benar tahu apa kandungan aktif dari obat tersebut dan apa efek sampingnya. Selama kita masih bisa ke dokter, dan dokter masih sempat menulis resep, artinya keadaan belum emergency. Jadi sempatkan untuk browsing dan/ataucari 2nd opinion. Kalau keadaan emergency, pasti dokter tidak akan menulis resep, tapi akan segera merujuk ke RS, bukan?
Semoga, berawal dari seminar ini, dunia kesehatan Indonesia bisa lebih berbenah diri, demi anak-anak Indonesia

2 comments:

  1. sejak ketemu dokter yang pas, yg ga pernah ksh puyer (pdhl sempet gemes kok batuknya salman ga sembuh2? dok, kok ga dikasih puyer? ngga usah bu, ga sesek kok, jawabnya), anak2 saya sekarang malah jarang sakit alhmdulillaah..trus dikasih obat2an sirup malah cepet sembuh.
    Sakit hati banget saya sm seorang dokter spesialis anak di Depok, waktu mahira bayi dikasih puyer buat org asma, skrg malah jd asma beneran. trus 2 bln yll waktu salman batuk, dikasih puyer ada campuran narkotiknya (yg nyuruh otak utk berhenti batuk) pdhl di tenggorokannya banyak slamnya. Ga lagi2 deh ke dokter itu :(

    ReplyDelete
  2. sebagai ibu kita memang harus proaktif cari informasi terutama tentang kesehatan anak, jangan pasrah dengan apa kata 1 dokter, dengan informasi yang cukup kita dapat terhindar dari kesalahan diagnosa ataupun pemberian obat..
    Lebih bagus lagi kalau kita bisa menghindarkan anak dari penyakit..
    That's why I Love Internet.. hehe..

    ReplyDelete

Our Birthday